Taburlah, Maka Engkau Akan Menuai

On Rabu, 12 Mei 2010 0 komentar


Taburlah, Maka Engkau Akan Menuai

Apa yang kau tabur, itu pulalah yang akan kau tuai. Pepatah itu yang memang sudah lama aku jalankan, namun belakangan seringkali terlupakan dalam geliat ambisi menjadi seorang primus interpares. Perjalanan dari pulau andalas menuju pusatnya kehidupan Indonesia sudah menahun. Jika kalian menyebutnya korban urbanisasi, tidaklah salah. Bahwa pulau ini punya magnet, tak seorang pun ragu. Dan aku datang kesini bukan tanpa misi. Aku berlabuh bukan dengan pakaian tak berkantung. Perjalanan menjejak di belahan bumi yang lain ini, buminya kerajaan Mataram, Majapahit, Padjajadjaran, memutarbalikkan cara berpikirku yang bussines as ussual. Dulu, aku berpikir bahwa takdir sudah digoreskan oleh Yang Esa. Sudah dibukukan berjilid-jilid guratan nasib umat manusia dengan pena-Nya. Ternyata aku salah besar, Tuhan bukanlah sedang main wayang atau orang-orangan yang semaunya dia arah dan gerakkan. Aku baru tahu beberapa tahun silam bahwa kesuksesan tidak datang dari langit. Kesuksesan harus diperjuangkan.

Orang-orang yang menuai tanpa menanam adalah maling. Seorang petani menabur benih untuk memetik hasil panen. Seorang peternak ikan, menabur benih di kolamnya. Soekarno, Hatta, Stalin, Mao juga menabur. Mereka menabur niat dan mimpi. Lantas kita, apa yang sudah ku taburkan ? Apa yang sudah kau tabur ? apa yang sudah kalian tabur ? Lantas apakah kita mau menjadi maling masa depan, atau menjadi orang yang mengandalkan dadu kehidupan ? Tidak kawan..sekali lagi tidak. Ambil kemudinya, kembangkan layarnya, biarkan angin membawa kita ke lautan. Berlayar di samudra kehidupan. Aku sedang menabur..ya aku sudah mulai menabur. Mari panen di atas dunia. Kita buktikan kalau kita bukan orang-orang kalah. Aku datang, aku melihat dan aku menang. Langkah pertama, mari taklukkan Ibu Kota.

Mencari Keajaiban

On 0 komentar


Mencari Keajaiban

Minggu, 2 Mei 2010

Sisa tidak tenang semalam, membuat pagi ini serasa lebih cepat. Malam tadi aku dihantui. Sangat tidak enak rasanya belakangan ini harus selalu dikejar-kejar bayangan yang tak bisa aku hindarkan. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi sangat jelas aku rasakan kehadiranya. Sudah hampir sebulan ini hari-hari serasa sangat berat. Putaran jarum jam membuatku benci. Bagai menegakkan benang basah, aku mengutuk waktu. Namun, bayangan itu selalu menghantuiku. Dia datang setiap pagi, dan malam ini, dia bersamaku seharian di kamar kos mungil ini. Buliran-buliran keringat dan bau asem badanku pun tak kuhiraukan lagi, aku ingin lepas dari tekanannya. Tunggu dulu, ini bukan soal rajin berdoa, ini juga bukan karena malas ke dukun. Doa sudah dikirimkan dan dukun saya kira tidak perlu ada. Sudah 12 jam aku sendiri di kamar ini, bunyi keyboard menari-nari menimbulkan suara yang gaduh. Suara bantingan buku-buku dan lembaran kertas yang membuka – menutup membuat irama dalam kamar ini terasa hidup. Dia datang, mendekat..mencium aroma kemalasanku, membuatku segera menggenggam pena yang berujung tajam. Kupegang pena tajam itu, kuacungkan dan kutikamkan ke dalam kertas-kertas berkas skripsiku. Ya, Aku dihantui skripsi dan harus lulus bulan ini...

Aku minta maaf ibunda, anakmu telat lulus. Aku tahu kau kecewa walau tak sekalipun kau tampakkan di raut wajahmu. Dulu, aku pernah berjanji, aku mahasiswa yang lulus paling cepat dengan predikat cum laude. Janji itu muncul karena aku paling telat masuk kuliah, jadi kalau ga lulus duluan, ya ketuaan dong. Namun, aku bukanlah menabur angin, aku sedang menabur kesabaran dan kegigihan. Sabar karena harus menghadapi dosen pembimbing yang susahnya minta ampun untuk aku mengerti. Gigih, karena aku memang mengerjakan, namun bak terjangan semangat yang tak punya pintu, akhirnya aku mati kelelahan.

Skripsi memang bisa tergelincir menjadi skripSHIT buat yang hanya menggerutu. Tapi buatku tidak. Skripsi hanyalah ujian kecil. Sama seperti kerikil-kerikil kecil kehidupan yang sebenarnya bisa dilalui. Seorang teman pernah bilang “skripsi juga adalah bentuk ujian dari Tuhan”. Perkataannya telak memukulku,mengkandaskan ke sumur terdalam. Aku malu. Teman Tadi menyambung perkatannya “ sudahkah anda berdoa pada-Nya?”.

Belakang Tak Berarti Terbelakang

On 0 komentar


Belakang Tak Berarti Terbelakang

Dua sahabat dekatku kemarin lulus lagi. Tak bisa untuk tidak bilang aku iri atas pencapaian mereka. Menggugat tapi entah pada siapa. Sebelum lebih jauh mencari kambing hitam, lebih baik aku cari kari kambing untuk disantap. Skripsi kini menjadi musuh nomor satu yang harus dikalahkan. Sudah dua tahun lebih pertempuran. Dan aku belum menang. Aku tak mau menunjuk karena takut kehabisan telunjuk. Dan karena saya sedikit egois, saya juga tidak mau mengarahkan telunjuk itu ke hidungku. Mungkin ini yang dinamakan suratan Ilahi. Bukan artinya ini adalah mencari pembenaran. Karena kalian selalu bilang beda pembenaran dan kebenaran hanya seutas rambut hitam nenek tua di pinggir jalan.

Aku menyebutnya guratan tangan setelah aku berpikir dan meligat ke belakang. Hampir di setiap kelompok yang kumasuki, menjadi nomor satu itu adalah amanah. Sewaktu kecil, saya selalu memimpin beberapa anak jahil dan bandel memerankan sebuah kelompok kejahilan. Mulai dari mencuri mangga tetangga sebelah sampai dikejar-kejar pemilik kebun mentimun karena perintah pada anggota untuk mengambilnya seolah semua adalah milik bersama. Suatu pola pikir yang membuat orang tuaku menggelengkan kepalanya. Memasuki SMP,SMA hampir tidak pernah tidak punya pengikut. Bahkan menjadi nomor satu tidak hanya dalam hal kejahilan. Tetapi kubuktikan dengan meraih nilai tertinggi NEM SMU. Mengkudeta ketua kelas sampai menjadi orang pertama yang selalu menyarankan bolos pada jam-jam fisika dan kimia. Dan,aku tidak pernah sendiri melakukannya. Memasuki kuliah, itu pun berulang. Diangkat menajdi ketua angkatan ,ketua organisasi dan pemimpin dalam kelompok-kelompok pergaulan selalu saja aku perankan. Namun menjadi terdepan di awal perjalanan,tidak sama artinya menjadi yang paling awal di akhir perjalanan. Semuanya hampir terbalik.

Menjadi paling lama memilih SMP mana yang akan kutempati, menjadi orang terlama yang menganggur setelah SMU dibandig teman-temanku sepermainan, sampai sekarang menjadi salah satu stok terakhir yang belum lulus dari perkuliahan. Apakah memang hidupku ditakdirkan untuk menjadi benteng terakhir yang menjaga kerajaan ?. Menjadi orang terakhir sebelum orang-orang disekitarku selamat sampai tujuan. Tetapi kalaupun itu guratan nasib, toh aku selalu berhasil memasuki tempat baru dengan selamat. Memasuki jenjang-jenjang kehidupan tanpa ada benang yang putus. Bedanya, orang-orang melewati dengan mudah, dan aku sedikit kesusahan.

Tetapi sekali lagi, apapun yang terjadi menimpa kita, tidak ada satu orang pun yang bisa memutuskan dan memaksa kita memaknainya. Artinya, kematian orang tua, bisa kita pandang sebagai sebuah kebahagiaan. Mungkin agak sedikit naif, tetapi bukan berarti salah. Justru, kebanyakan ornag gagal, bukan karena faktor orang lain, melainkan gagal melihat dan memakai kacamata yang tepat. Orang yang memakai kacamata hitam akan mengatakan dunia itu hitam. Dan itu sah-sah saja,karena orang-orang memang hanya bisa berkomentar melalui kacamata yang dipakainya. Dan saya tidak mau sama dengan orang-orang memandang hidup ini. Hitam bisa jadi putih, merah bisa jadi kuning, kematian bisa dimaknai sebagai kebahagiaan, isak tangis diartikan sebagai berkah yang sedang diberikan. Setiap peristiwa adalah bebas nilai, dan kita yang memegang palu untuk menentukan apa nilainya,bukan siapa=siapa.

Oleh karena itu, dunia yang saya hadapi sekarang adalah dunia menurut saya. Bukan dalam arti kesewenang-wenangan dan mengabaikan yang lain. Tetapi semata-mata hak kita sebagai manusia untuk menentukan kemana arah hidup kita. Bukan artinya mengabaikan saran seorang teman baik, melainkan sebagai manusia,hanya kitalah yang paling mengerti apa yang terbaik buat diri kita. Saran tidak akan tinggal bak petugas stasiun yang mengingatkan “jangan lupa untuk menjaga barang bawaan”. Saranmu akan jadi bahan pertimbangan yang sangat berharga. Dan mohon maaf kalau anda harus menerima fakta, sayalah orang terahir yang menentukan vonis terhadap diri saya sendiri.

Lantas bagaimana saya memandang hidup saya sekarang. Saya katakan dalam-dalam “bahwa posisi belakang tidak selamanya terbelakang”. Dan hanya orang-orang yang memiliki semangat hidup yang bisa membuktikan hal itu. Kalau tidak, mohon maaf, hanya akan jadi kata-kata penghiburan buat orang-orang yang kalah. Sebentar tenang, sehabis itu mati.

Minggu, 18 April 2010

On Jumat, 07 Mei 2010 0 komentar


Minggu, 18 April 2010

Malam menjemput perlahan. Suara televisiku belakangan ini dipenuhi oleh komentar-komentar orang-orang yang katanya “pakar”, “ahli”, “menguasai di bidangnya” perihal kasus Gayus. Aduh, cape juga nonton berita yang itu-itu lagi. Gayus jadi artis dalam sekejap. Ternyata untuk jadi artis pun ga perlu menapak dari bawah, tapi cukup dengan korupsi. Tapi yang agak gede dikit, kalau kecil-kecilan, media ga mau muat. Dan kalau uang yang dirampok gede, itu santapan lezat buat para kuli tinta yang kaya raya. Biasalah bro, media kita masih menganut mainstream, bad news is a good news. Dalam hati, aku bilang, “kalau gitu pantes berita Indonesia bagus-bagus semua, wong isinya berita buruk semua”. Hehehe

Kenapa ya Gayusisme atau bahasa kerennya, maling, udah jadi biasa di bangsa ini. Karena udah biasa, justru malah dimaklumi dan biasanya tindakan yang dimaklumi, akan mulai ditiru. Apa maksudnya mas ? hmm, gini loh, kalau sampean mendengar, ada orang makan ular. Apa yang dirasakan ? pasti jadi pikiran dan keheranan yang luar biasa sambil ngucap “mengerikan” atau “kaya binatang” atau apa aja deh makian favorit khas orang indonesia. Intinya, perbuatan itu dianggap abnormal. Nah, kalau diandaikan makan ular sama dengan seorang yang korupsi, maka anda juga pasti memaki juga toh. Sekarang bayangkan yang makan ular itu banyak orang, dan kuping anda juga sudah biasa dengar “ ular enak juga loh”, atau temen anda bilang “ gw baru aja makan empedu ular, muantap coy”. Setelah frekuensi makan ular itu semakin sering kita dengar, maka semakin wajar dan maklum pula kita melihat seseorang memakan ular, bahkan lebih jauhnya, kita pun menjadi pemakan daging ular.

Begitu juga korupsi, semakin sering dan semakin banyak yang melakukan. Perbuatan itu ga lagi “aib”, bukan lagi perbuatan yang sembunyi-sembunyi, ga tabu lagi. Karena apa ? karena korupsi sudah dilakukan oleh para anonim (banyak wajah). Logikanya, tindakan yang dilakukan para anonim-anonim, lambat laun menjadi perbuatan yang biasa saja yang toh dilakukan semua orang. Itulah sebabnya, pas ngurus KTP, camat atau lurah ga malu ngomong uang pelicin. Itu juga sebabnya kenapa pas ngurus KTP, kita ga malu nanya berapa uang pelicinya. Bahkan kalau kita ga lakuin tindakan suap,korup dan seabrek perilaku tercela, malah kita yang jadi abnormal. Edan ga ?

Terus kemaren ada pengamat politik bilang “ satu orang jujur,masuk ke 9 orang korup, bisa dipastikan, bulan depan calon tersangka (kalau ga di depan hukum ya di depan Tuhan), bakal bertambah satu. Artinya, kejahatan korupsi bukanlah bersifat personal, melainkan berkaitan dengan sistem. Siapapun orangnya ketika masuk dalam sebuah sistem yang korup, dikasi pilihan 2 biji. Keluar atau bergabung dengan jaringan mafia maling negara. Kalau keluar, anak istri ga makan, kalau bergabung, masuk neraka. Ckckcc...ga ada pilihan lain apa mas...nasib..nasib..

Terus korupsi itu bukan berdiri sendiri, kaya tiang. Tapi saling berkaitan dengan kondisi sosial,ekonomi dan budaya. Kondisi sosial ya itu tadi, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, kalau ekonomi, sifat serakah manusia. Bayangkan udah kaya masih aja korup. Jadi tolong ya, jangan seenaknya aja ngomong minta tambah gaji para pejabat, kalau cuma alasan doang.Jangan sok memuji remunerasi, toh kalau ga ada udang dibalik batu. dan ketiga ,budaya, korupsi udah jadi adat baru di Indonesia dengan budya manusianya yang tidak pernah puas, suka jalan pintas, lebih mementingkan hasil daripada proses. Korupsi itu multicausal booo...

Apa sih yang edan di republik ini. Mungkin variasi tindak kejahatan semua ada di sini. Indonesia adalah miniatur neraka versi dunia. Hehehe, bodoh amat kata orang menghina negeri sendiri, wong dihina aja, ga sadar-sadar. Uppsss, ngomongin kesadaran, wah berat urusannya. Sadar berarti membangunkan ketidaktahuan,menyadarkan ketidaksadaran. Dan itu ga gampang. Sama kalau menyadarkan orang yang udah pingsan (alhamdulilah belum mati), susah bukan ? ya lebih susah dibandingin bangunin orang tidur. Oh, masihkah kita segede ini minta disadarkan ?

Ada yang bilang hukum mati aje..nah lo, coba bayangin, memang pada awalnya masyarakat akan takut dengan hukuman, tapi jangan lupa, kejahatan selalu lebih maju dibanding hukum. Karena itu pula China ga sukses dengan hukuman matinya. Kita selalu fokus pada hukuman,bukan pada penyadaran. Asumsinya, untuk mencegah korupsi ya bukan mengandalkan hukum saja, tetapi ya lewat pikiran manusianya. Kalau pikiran kita clear untuk tidak korupsi, ga perlu hukuman mati deh..tapi ini pula yang sulit memang, mengubah pikiran sulit karena kita bukan robot. Dan kalau anda berharap revolusi pemikiran akan terjadi dalam wakktu dekat, hmm jangan ngarep deh..merubah mind set itu puluhan tahun mas. Pikiran dipengaruhi lingkungan-lingkungan adalah nilai-nilai yang hidup dan diciptakan orang-orang-dan orang-orang berpikir-untuk berpikir benar, butuh alat berpikir benar- kita butuh lembaga. Apakah itu sekolah maupun organisasi terkecil, keluarga.

Rumus iseng saya, tindakan baik dilakukan dengan sadar, dan kesadaran berbuat baik dipengaruhi oleh lingkungan (artinya bisa di rekayasa sosial) melalui lembaga formal/informal sehingga melahirkan budaya bangsa yang juga baik. Wah sudah malam...mau melanjutkan nonton TV lagi...eh...ada kasus Priok ya ? Maaf mau nonton dulu yo...Wassalam...

powered by Blogger | css by Newwpthemes